Kewajiban Publikasi: Antara Tuntutan dan Integritas Akademik

Ada gula, ada semut. Di mana ada permintaan, di situ ada penawaran. Kira-kira begitulah gambaran sederhana kewajiban publikasi bagi akademisi (dosen, mahasiswa, dan peneliti) di Indonesia. Ketika aturan ini diterapkan, akademisi seolah "dipaksa" untuk menghasilkan tulisan ilmiah. Maka, tidak heran jika kuantitas publikasi meningkat drastis. Namun, apakah kualitasnya ikut naik? Itu masih jadi pertanyaan besar.

Peneliti di tengah keruwetannya dan tawaran fast publication bergaransi terbit 100% (ilustrasi oleh DALL-E)

Di sisi lain, kewajiban ini justru menciptakan peluang bagi sebagian pihak yang lihai melihat kesempatan. Mereka, layaknya semut yang mendatangi gula, bergerak cepat menangkap peluang dari situasi ini.

Fenomena ini mirip dengan "joki 3-in-1" di Jakarta. Anda tentu tahu, kan? Dulu, pemerintah memberlakukan aturan kendaraan roda empat di jalan tertentu harus membawa setidaknya tiga penumpang. Bagi para pengemudi yang tidak ingin naik kendaraan umum, muncul para joki yang menawarkan jasa menjadi "penumpang" tambahan. Sebuah simbiosis mutualisme: pengemudi butuh penumpang, joki butuh uang. Ini Indonesia, bung! Apa sih yang nggak "diakalin" disini?

Nah, dalam konteks kewajiban publikasi, para "semut" ini juga muncul dengan motif yang sama—uang.

Baru-baru ini, saya melihat iklan di media sosial yang menawarkan jasa publikasi ilmiah untuk akademisi. Janji yang mereka tawarkan cukup menggoda: proses publikasi cepat, biaya murah, bahkan ada yang menjamin terbit. Dalam kondisi terdesak oleh kewajiban publikasi, siapa yang tidak tergiur? Alih-alih terus mengalami penolakan dari jurnal, banyak yang memilih menggunakan biro jasa publikasi ini. Menulis jadi terasa seperti beban, bukan lagi sebagai sesuatu yang menyenangkan. Dan di situlah masalahnya—masalah yang justru menjadi peluang bisnis bagi sebagian orang. 

Praktik makelar co-author

Publikasi adalah salah satu komponen kinerja seorang dosen. Bersama dengan komponen pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat, publikasi yang merupakan muara dari kegiatan penelitian menjadi salah satu pilar tri dharma perguruan tinggi. Kinerja seorang dosen dinilai salah satunya dari komponen ini. Anda mungkin kenal dengan istilah BKD, Beban Kinerja Dosen. Salah satu yang bikin pusing dosen setiap semester. Karena bikin pusing, maka ada saja pihak yang menawarkan untuk jadi co-author di salah satu paper. Siapa saja, dengan background apapun. Asalkan bisa bayar. Hehe. Masih ada yang mau tanya lucunya dimana? 

Menariknya, ada juga loh yang mencatut nama orang sebagai co-author di tulisannya, gratis! Iya, gratis! Anda pasti pernah baca kan? Kasus ini sempat heboh karena ada dosen sekaligus peneliti Indonesia yang punya publikasi sedemikian banyaknya, sampai bisa dibilang tak wajar. Kebanyakan dari publikasi itu mencatut nama penulis dari luar negeri sebagai co-author tanpa seizin mereka. Apakah mereka bayar? Hei, mana mungkin lah. Tujuannya apa? Kalo kata orang sekarang mah istilahnya pansos, panjat sosial. Berharap artikel diterima karena kesannya ditulis oleh peneliti terkenal. 

Penerbit jurnal ilmiah tumbuh bak jamur di musim hujan

Next, munculnya penerbit jurnal ilmiah abal-abal. Mereka memanfaatkan desakan para akademisi untuk memenuhi tuntutan publikasi. Dengan janji-janji manis seperti "terbit cepat" atau "impact factor tinggi," banyak yang terjebak tanpa sadar kalau jurnal yang mereka tuju hanyalah "predatory journal." Jurnal jenis ini sering kali tidak menjalankan proses peer review yang benar, bahkan ada yang hanya menyalin ulang konten tanpa memeriksa keaslian atau kualitasnya. Singkat kata, asal bayar, asal terbit. Tak peduli apakah kontribusi ilmiahnya relevan atau sekadar pengulangan dari penelitian lain.

Akademisi yang terjebak dalam praktik ini akhirnya tidak hanya mencoreng reputasi dirinya sendiri, tetapi juga merugikan dunia akademis secara umum. Kualitas penelitian yang diterbitkan pun tidak terjamin, dan yang lebih mengkhawatirkan, publikasi di jurnal-jurnal seperti ini sering kali tidak diakui oleh lembaga yang memiliki standar internasional. Namun, karena tekanan publikasi, banyak yang rela mengambil jalan pintas ini.

Ini juga ada kaitannya dengan bisnis jasa publikasi ilmiah. Saya curiga, mereka yang menawarkan jasa publikasi itu juga sebenarnya punya jurnal yang mereka kelola. Setiap order yang masuk tentu saja akan mereka proses dan terbitkan di jurnal mereka. Makanya mereka bisa jamin garansi terbit 100%, cepat pula. Syaratnya apa? Bayar dong! 

Lalu, apa solusinya?

Kewajiban publikasi sebenarnya adalah upaya yang baik untuk mendorong produktivitas dan inovasi di kalangan akademisi. Namun, jika sistem ini terus berjalan tanpa adanya perbaikan dalam hal kualitas dan etika, kita hanya akan menciptakan lingkungan yang kompetitif tanpa memberikan nilai nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Barangkali kita perlu kembali merenung: apa esensi dari publikasi ilmiah? Apakah sekadar memenuhi kewajiban administratif, ataukah sebuah kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan?

Pada akhirnya, semua kembali pada individu. Sebagai akademisi, kita harus bertanya pada diri sendiri, "Untuk apa saya menulis?" Apakah demi nilai kinerja, biar cepat naik pangkat, yang penting BKD terpenuhi, atau karena benar-benar ingin menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat luas?

Certified remote pilot | interested in research related to geoinformatics, WebGIS, and UAV/drone | research student at Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University, Japan

Posting Komentar