WhatsApp di Dunia Akademik Indonesia

Siapa sih di Indonesia yang nggak kenal WhatsApp? Pesaing-pesaingnya semacam Line dan KakaoTalk mana sanggup nyenggol dia. WhatsApp faktanya masih kokoh berdiri sebagai platform perpesanan terbesar di Indonesia. Dari teman curhat, grup keluarga besar yang isinya cuma video ucapan selamat pagi, sampai penjual bakso dekat rumah, semuanya ada di WhatsApp. Tapi, ternyata di dunia akademik, WhatsApp punya peran yang jauh lebih serius. Bukan cuma buat kirim meme atau obrolan receh, tapi juga jadi tool utama untuk kuliah, diskusi, bahkan... bimbingan tugas akhir. Serius, ini beneran kejadian!

Image source: https://www.digitaltrends.com/mobile/what-is-whatsapp/


WhatsApp: Ruang Kelas Virtual yang Tak Terduga

Di universitas, WhatsApp bukan cuma tempat ngobrol santai atau nanya tugas di menit terakhir. Ini adalah pusat komando utama! Mahasiswa dan dosen saling bertukar informasi, dari soal jadwal kuliah yang berubah (lagi), bahan kuliah yang tiba-tiba dikirim malam hari, sampai pengumuman ujian dadakan. Sering kali, grup WhatsApp kelas lebih update dibandingkan kalender akademik kampus itu sendiri. Dan ngaku deh, berapa kali kamu tahu kelas dipindah lebih dulu dari grup WhatsApp daripada dari situs kampus?

Hadirnya WhatsApp banyak berdampak positif. Saya sendiri termasuk yang terlambat. Saya adalah generasi yang merasakan peralihan dari SMS ke WhatsApp sekitar tahun 2010. Waktu itu para pengguna WhatsApp cuma mereka yang sudah punya smartphone Android. Handphone saya masih belum pintar waktu itu, jelas belum bisa coba-coba WhatsApp. Sebelum munculnya WhatsApp, SMS masih jadi andalan. Barangkali ada yang sempat kenal dengan istilah "jarkom"? Kepanjangannya "jaringan komunikasi". Apaan tuh? Gampangnya semacam metode penyebaran informasi dengan pesan berantai. Teknisnya pesan dikirim 1 orang, biasanya ketua kelas, ke mahasiswa di urutan absen pertama, misalnya si A. Lalu si A harus forward pesan itu ke 2 orang di bawahnya. Dan 2 orang itu kemudian harus forward lagi ke 2 orang selanjutnya. Makanya disebut pesan berantai. kenapa harus 2 orang? Supaya kalo ada yang kehabisan pulsa, masih ada orang lain yang nerusin pesannya. Kebayang donk gregetnya mahasiswa waktu itu. Nah, hadirnya WhatsApp kemudian seketika menghilangkan jarkom. 

Bagus? Ya, bagus donk. Jadi lebih efisien kan?

Kami juga waktu itu sempat punya grup kelas di Facebook. Yang ternyata nggak efektif juga. Dan akhirnya pindah juga ke WhatsApp.

Sekarang?

Setiap awal semester, saya selalu diinvite join grup WhatsApp baru yang memang disiapkan prodi untuk tujuan perkuliahan. Isinya semua mahasiswa peserta mata kuliah dan dosennya. Di grup itulah kemudian semua diskusi pelaksanaan perkuliahan dan praktikum didiskusikan. Pihak kampus sebenarnya sudah membuat platform khusus untuk komunikasi massal. Konsepnya ya mirip dengan WhatsApp. Setiap kelas kuliah otomatis akan ada grupnya di platform itu. Dan setiap mahasiswa yang mengambil mata kuliah itu akan otomatis dimasukkan kesana, termasuk dosennya. Ya, kami sudah punya sistem yang terintegrasi. Tapi, tetap WhatsApp tak tergoyahkan.

WhatsApp vs Platform Pembelajaran Formal

Di atas kertas, kampus-kampus punya Learning Management System (LMS), misalnya Google Classroom, Moodle, atau sejenisnya. Kami juga punya. Tapi, di lapangan, kenyataannya lain. WhatsApp sering kali lebih unggul. Lalu LMS? Ya, ada. Tapi hanya sekedar ada. Kenapa? Karena mahasiswa (dan dosen!) lebih sering buka WhatsApp setiap lima menit. Nggak peduli apa alasannya, entah buat cek pesan atau sekadar scroll chat yang belum sempat dibaca. Jadi kalau ada informasi penting, pasti lebih cepat diterima lewat WhatsApp.

Saya sendiri, kadang lebih nyaman kirim bahan ajar di grup WhatsApp daripada harus upload di LMS. Soalnya, ya, lebih cepat. Dan praktis tentu saja. Dibanding harus prepare upload ke LMS, yang tentu saja lebih, ribet. Iyes! Saya berani bilang, sebagai orang yang cukup mengerti teknologi, LMS itu memang ribet. Kebayang dong gimana para dosen senior yang rasanya akan gelagapan kalo harus upload bahan ajar ke LMS.

Koordinasi Akademik Lewat WhatsApp: Dari Seminar Hingga Sidang Skripsi

WhatsApp bukan cuma buat kuliah. Kadang-kadang, rapat panitia seminar atau diskusi sidang skripsi juga berlangsung di sana. Ada jadwal rapat penting? Jangan heran kalau ujung-ujungnya malah ngatur semuanya lewat grup WhatsApp. Bahkan, bimbingan skripsi pun kadang lebih lancar lewat WhatsApp daripada harus ketemu langsung.

Dari pengalaman pribadi, pernah ada momen saat kami merencanakan seminar besar, dan semua diskusi dilakukan via WhatsApp. Diskusi serius? Iya, di awal. Tapi lama-lama, obrolan jadi soal rekomendasi makanan atau film. Bisa dibilang, WhatsApp kadang bikin diskusi jadi lebih cair, mungkin terlalu cair.

Kelebihan dan Kekurangan: WhatsApp Menyelamatkan Hari atau Menghancurkan Jadwal?

Tentu, WhatsApp mempermudah segalanya. Informasi jadi lebih cepat tersebar, tanpa perlu repot buka aplikasi lain. Tapi, ada juga risikonya. Semua chat, baik yang akademis maupun yang iseng, bercampur jadi satu. Bayangkan kamu lagi fokus nanya soal tugas, tapi tiba-tiba ada notifikasi video lucu dari grup keluarga. Beda konteks, tapi tetap bikin terganggu.

Dan sebagai dosen, kadang WhatsApp jadi sumber distraksi terbesar. Bayangkan, tiap buka WhatsApp, ada tumpukan pesan dari mahasiswa, kolega, hingga keluarga. Rasanya, antara urusan akademik dan urusan pribadi jadi susah dipisahkan.

Pengalaman Dosen: WhatsApp Bikin Jadi Serba Online

Sebagai dosen, saya juga merasakan perubahan besar. Dulu, saya harus menunggu masuk ruang kelas untuk menyampaikan pengumuman atau materi. Sekarang? Tinggal buka WhatsApp, dan semua mahasiswa bisa langsung tahu. 

Praktis? Banget. Tapi kadang, beban jadi lebih besar. Rasanya, WhatsApp bikin saya “siaga” terus, nggak ada bedanya antara jam kuliah dan waktu pribadi. Selalu ada pesan yang belum terjawab, selalu ada pertanyaan tentang materi yang muncul kapan saja, bahkan di akhir pekan!

Tapi, ya, begitulah WhatsApp. Di satu sisi, bikin hidup lebih mudah, tapi di sisi lain, bikin semua jadi blur. Kadang saya sendiri jadi bingung kapan waktunya istirahat, kapan waktunya kerja.

Kesimpulan: WhatsApp, Si Penyelamat yang Berbahaya

WhatsApp udah berkembang dari aplikasi ngobrol biasa jadi backbone perkuliahan dan koordinasi kampus. Tapi ya, dengan segala kemudahannya, ada juga tantangannya. Batas antara hidup akademik dan hidup pribadi jadi tipis banget. Jadi, meskipun WhatsApp membantu banget buat kuliah, jangan lupa jaga work-life balance, ya!

Certified remote pilot | interested in research related to geoinformatics, WebGIS, and UAV/drone | research student at Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University, Japan

Posting Komentar